Ruang Sosial Ridwan Kamil

EmilKompas, Minggu, 24 Agustus 2008 | Ninuk Mardiana Pambudy

Ketika pemerintah baru mulai merumuskan konsep dan memetakan industri kreatif Indonesia, di Bandung sejak Januari 2008 sudah berdiri Bandung Creative City Forum. Sepanjang Juli hingga akhir Agustus ini, forum BCCF tersebut menggelar kegiatan ekonomi kreatif anggota komunitas dalam Helar Festival.

Forum tersebut digagas orang- orang muda Bandung yang bergerak dalam ekonomi kreatif. Mereka memilih Ridwan Kamil (36) sebagai ketua. Ridwan Kamil bukan nama baru. Sebagai arsitek dia sudah menyelesaikan banyak proyek di Indonesia selain di Singapura, Bangkok, Bahrain, Beijing, dan Vietnam.

Proyek tersebut dia kerjakan ketika masih bekerja di Amerika Serikat sejak 1997 maupun saat kembali ke kampung halamannya di Bandung dan membentuk biro jasa arsitektur, perencanaan dan desain Urbane, singkatan dari urban evolution, pada 2004.

”Kuncinya berjejaring karena itu sangat penting. Karenanya hubungan baik dengan kolega di luar negeri harus terus dibangun,” kata Ridwan dalam percakapan dua pekan lalu. Minggu ini, misalnya, Ridwan mendapat tawaran dari koleganya di Hongkong untuk sama-sama mengerjakan proyek skala kota di India.

Meskipun baru berdiri delapan bulan, Ridwan merasa BCCF berhasil membangun solidaritas di antara anggota komunitas antara lain dengan diterimanya ikon .bdg (dot bdg) sebagai merek ekonomi kreatif Bandung.

”Pelajaran terpenting dari BCCF adalah ketika kami kompak hidup menjadi lebih mudah,” kata sarjana arsitektur Institut Teknologi Bandung (1995) dan master dalam desain urban dari University of California-Berkeley (2002).

Salah satunya akses pada penguasa, wali kota, hingga menteri. Akses itu penting antara lain untuk meyakinkan wali kota agar membangun fasilitas kota yang menjadi hak publik, karena ruang publik yang nyaman dan aman berperan penting dalam membangkitkan ide kreatif.

Kota dan kreativitas

Sebagai arsitek yang praktik maupun sebagai dosen, Ridwan meyakini kota berperan penting dalam membangkitkan kreativitas warga. Ekonomi kreatif di sejumlah negara dengan Inggris sebagai pelopor, terbukti mampu membangkitkan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja lebih cepat daripada ekonomi berbasis industri gelombang kedua.

”Dalam BCCF, strategi ruang publik sebagai ruang inspiratif orang-orang kreatif sangat penting. Generasi muda, generasi X dan Y, mobilitasnya sangat tinggi. Mereka butuh ruang baru yang tidak formal untuk membangkitkan ide kreatif.

”Mereka kan tidak selalu terinspirasi melalui ngobrol di kafe yang mahal. Sesekali boleh dong nongkrong di Taman Menteng (Jakarta) yang terdesain baik.

”Menjadikan Yogya kota hotspot (di mana orang dapat mengakses internet secara mobil) adalah ide brilian. Artinya, di mana pun orang bisa merasa nyaman dan produktif,” kata Ridwan.

Dalam merancang kota, menurut pemenang International Young Design Entrepreneur of the Year dari British Council Indonesia ini dikenal filosofi warga menciptakan karakter kota, maka kemudian kota akan menciptakan karakter warganya.

Dalam konteks itu, peran arsitektur bukan hanya mendesain bangunan, tetapi juga ruang?

Saya punya self critic terhadap profesi arsitek. Ada kekurangsensitifan pada konteks di tempat bangunan berdiri.

Analoginya, bangunan itu seperti manusia. Ketika berdiri di kota, bangunan harus mengobrol dengan tetangga sebelah, memberi ruang cukup dengan kawasan sekelilingnya. Ini banyak dihilangkan proyek baru yang hanya fokus pada diri sendiri. Itu sebabnya kita tidak punya ruang publik yang nyaman.

Sebetulnya tanggung jawab pemerintah adalah untuk ruang publik formal, seperti taman kota dan alun-alun. Tetapi, di ruang seperti mal, misalnya, warga seharusnya boleh beristirahat di halamannya, ada tempat duduk, air mancur. Bila semua bangunan berpikir sosial seperti itu, saya yakin kota akan nyaman ditinggali dan punya ruh yang membuat orang betah.

Arsitektur yang baik harus seimbang dari sisi ekonomi, sosial, dan ekologis. Dominasi arsitektur di Jakarta dan kota baru di Indonesia masih pada sisi ekonomi. Jadi, bangunan dipagari, tidak ada plaza publik, banyak ruang kosong yang tidak didesain baik.

Komunikasi

Masalah desain kota sebagai ruang publik yang belum memberi rasa aman dan nyaman bukan hal baru. Ridwan mengakui, salah satu pekerjaan rumah arsitek adalah mengomunikasikan ide keseimbangan itu dalam bahasa yang dapat dimengerti klien. Hanya 40 persen dari kliennya dapat memahami ide tersebut.

Urbane adalah cara Ridwan mencoba menyuntikkan isu ruang sosial dan ekologi dalam setiap proyek mereka sehingga tercapai keseimbangan dengan isu ekonomi.

”Kami lakukan sebisa mungkin karena tahu kendala pada masyarakat Indonesia. Dalam isu ekologi, misalnya, untuk mendapat sertifikat green design ada daftar isian panjang. Tantangan kita di negara berkembang tidak semua syarat bisa dipenuhi, tetapi paling tidak bisa parsial. Kalau tidak bisa menghemat pemakaian energi, paling tidak daur ulang. Kalau dua hal itu belum bisa, setidaknya menghemat air,” kata Ridwan. Buat dia, sumbangan kecil-kecil itu bila dilakukan banyak pihak hasil akhirnya akan berpengaruh nyata.

Dalam isu ruang sosial, kota sebagai ruang publik seharusnya didesain memberi rasa nyaman dan aman, seperti dalam ruang privat (rumah) sehingga warga mau keluar dari rumah. Untuk itu, ruang publik harus didesain, tidak cukup hanya disediakan.

”Misalnya, ruang hijau didesain ada ruang untuk main skateboard, sudut satunya untuk ngopi, dan yang lain untuk kontemplasi. Ruang publik di Indonesia baru disediakan, belum dirancang dengan baik. Lapangan Monas contohnya. Akibatnya orang yang mau menggunakan juga bingung,” jelas Ridwan.

Contoh lain adalah jalan sebagai ruang publik terbesar yang diperlakukan sekadar sebagai ruang sirkulasi engineering. Akibatnya, pemerintah hanya menyediakan aspal, tetapi tidak memikirkan pedestrian untuk pejalan kaki.

”Boro-boro didesain, disediakan saja tidak. Pertanyaannya, lalu di mana warga kota bisa melakukan interaksi sosial dengan kenyamanan dan keamanan seperti di ruang privat? Karena tidak ada pilihan, maka 60 persen warga Jakarta melarikan diri ke mal yang menyediakan keamanan dan kenyamanan dengan segala sensasinya,” kata Ridwan.

Apa yang Anda dan Urbane lakukan?

Ketika memenangi desain gedung Kampus Universitas Tarumanagara Jakarta, saya minta kesempatan untuk juga mendesain lingkungan kampus. Waktu itu, halaman kampus diaspal untuk parkir mobil. Setelah kuliah semua orang pulang.

Saya lalu buat gedung parkir terpisah. Yang tadinya tempat parkir jadi taman; ada taman pasif yang sifatnya diam, taman aktif untuk main bola atau latihan marching band, dan taman linier berupa koridor memanjang. Sekarang di taman itu ada yang pacaran, ada yang tiduran, ada yang kontemplasi, macam-macam aktivitas.

Di Epicentrum, Urbane menggarap 12 hektar dari total kawasan 50 hektar. Ada Bakrie Tower, Epicentrum Walk, perkantoran, ritel, dan waterfront.

Semua garis sempadan bangunan saya jadikan pedestrian sehingga lebarnya 9 meter sepanjang 0,5 kilometer. Di ruang seluas itu kan tidak bisa hanya dilakukan perkerasan, harus ada desain untuk membuat orang bisa duduk dan berkontemplasi, membangkitkan inspirasi, ada air mancur untuk menurunkan suhu udara.

Waterfront dirancang dengan membagi dua aliran sungai. Jalur pertama yang kotor dan yang bersih didekatkan ke ruang publik untuk memperlihatkan sungai bukan tempat buang sampah.

Di mana tempat arsitektur lokal di tengah globalisasi?

Hormati nilai luhur budaya dengan cara baru, bukan copy and paste secara fisik. Artinya, yang diriset nilai budaya lalu ditransformasikan menjadi bentuk geometri modern.

Ketimbang bikin joglo, saya mendesain dengan dinding motif batik untuk renovasi Hotel Sahid. Spirit Jawa tetap hadir, tetapi saya pakai referensi budaya Jawa lain yang saya interpretasi ulang.

Di Museum Tsunami, saya mengambil nilai tarian Aceh, Saman, yang distilisasi menjadi geometri motif baru lalu diterapkan secara konstruksi menjadi kulit bangunan museum.

Ketika pemerintah baru mulai merumuskan konsep dan memetakan industri kreatif Indonesia, di Bandung sejak Januari 2008 sudah berdiri Bandung Creative City Forum. Sepanjang Juli hingga akhir Agustus ini, forum BCCF tersebut menggelar kegiatan ekonomi kreatif anggota komunitas dalam Helar Festival.

Forum tersebut digagas orang- orang muda Bandung yang bergerak dalam ekonomi kreatif. Mereka memilih Ridwan Kamil (36) sebagai ketua. Ridwan Kamil bukan nama baru. Sebagai arsitek dia sudah menyelesaikan banyak proyek di Indonesia selain di Singapura, Bangkok, Bahrain, Beijing, dan Vietnam.

Proyek tersebut dia kerjakan ketika masih bekerja di Amerika Serikat sejak 1997 maupun saat kembali ke kampung halamannya di Bandung dan membentuk biro jasa arsitektur, perencanaan dan desain Urbane, singkatan dari urban evolution, pada 2004.

”Kuncinya berjejaring karena itu sangat penting. Karenanya hubungan baik dengan kolega di luar negeri harus terus dibangun,” kata Ridwan dalam percakapan dua pekan lalu. Minggu ini, misalnya, Ridwan mendapat tawaran dari koleganya di Hongkong untuk sama-sama mengerjakan proyek skala kota di India.

Meskipun baru berdiri delapan bulan, Ridwan merasa BCCF berhasil membangun solidaritas di antara anggota komunitas antara lain dengan diterimanya ikon .bdg (dot bdg) sebagai merek ekonomi kreatif Bandung.

”Pelajaran terpenting dari BCCF adalah ketika kami kompak hidup menjadi lebih mudah,” kata sarjana arsitektur Institut Teknologi Bandung (1995) dan master dalam desain urban dari University of California-Berkeley (2002).

Salah satunya akses pada penguasa, wali kota, hingga menteri. Akses itu penting antara lain untuk meyakinkan wali kota agar membangun fasilitas kota yang menjadi hak publik, karena ruang publik yang nyaman dan aman berperan penting dalam membangkitkan ide kreatif.

Kota dan kreativitas

Sebagai arsitek yang praktik maupun sebagai dosen, Ridwan meyakini kota berperan penting dalam membangkitkan kreativitas warga. Ekonomi kreatif di sejumlah negara dengan Inggris sebagai pelopor, terbukti mampu membangkitkan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja lebih cepat daripada ekonomi berbasis industri gelombang kedua.

”Dalam BCCF, strategi ruang publik sebagai ruang inspiratif orang-orang kreatif sangat penting. Generasi muda, generasi X dan Y, mobilitasnya sangat tinggi. Mereka butuh ruang baru yang tidak formal untuk membangkitkan ide kreatif.

”Mereka kan tidak selalu terinspirasi melalui ngobrol di kafe yang mahal. Sesekali boleh dong nongkrong di Taman Menteng (Jakarta) yang terdesain baik.

”Menjadikan Yogya kota hotspot (di mana orang dapat mengakses internet secara mobil) adalah ide brilian. Artinya, di mana pun orang bisa merasa nyaman dan produktif,” kata Ridwan.

Dalam merancang kota, menurut pemenang International Young Design Entrepreneur of the Year dari British Council Indonesia ini dikenal filosofi warga menciptakan karakter kota, maka kemudian kota akan menciptakan karakter warganya.

Dalam konteks itu, peran arsitektur bukan hanya mendesain bangunan, tetapi juga ruang?

Saya punya self critic terhadap profesi arsitek. Ada kekurangsensitifan pada konteks di tempat bangunan berdiri.

Analoginya, bangunan itu seperti manusia. Ketika berdiri di kota, bangunan harus mengobrol dengan tetangga sebelah, memberi ruang cukup dengan kawasan sekelilingnya. Ini banyak dihilangkan proyek baru yang hanya fokus pada diri sendiri. Itu sebabnya kita tidak punya ruang publik yang nyaman.

Sebetulnya tanggung jawab pemerintah adalah untuk ruang publik formal, seperti taman kota dan alun-alun. Tetapi, di ruang seperti mal, misalnya, warga seharusnya boleh beristirahat di halamannya, ada tempat duduk, air mancur. Bila semua bangunan berpikir sosial seperti itu, saya yakin kota akan nyaman ditinggali dan punya ruh yang membuat orang betah.

Arsitektur yang baik harus seimbang dari sisi ekonomi, sosial, dan ekologis. Dominasi arsitektur di Jakarta dan kota baru di Indonesia masih pada sisi ekonomi. Jadi, bangunan dipagari, tidak ada plaza publik, banyak ruang kosong yang tidak didesain baik.

Komunikasi

Masalah desain kota sebagai ruang publik yang belum memberi rasa aman dan nyaman bukan hal baru. Ridwan mengakui, salah satu pekerjaan rumah arsitek adalah mengomunikasikan ide keseimbangan itu dalam bahasa yang dapat dimengerti klien. Hanya 40 persen dari kliennya dapat memahami ide tersebut.

Urbane adalah cara Ridwan mencoba menyuntikkan isu ruang sosial dan ekologi dalam setiap proyek mereka sehingga tercapai keseimbangan dengan isu ekonomi.

”Kami lakukan sebisa mungkin karena tahu kendala pada masyarakat Indonesia. Dalam isu ekologi, misalnya, untuk mendapat sertifikat green design ada daftar isian panjang. Tantangan kita di negara berkembang tidak semua syarat bisa dipenuhi, tetapi paling tidak bisa parsial. Kalau tidak bisa menghemat pemakaian energi, paling tidak daur ulang. Kalau dua hal itu belum bisa, setidaknya menghemat air,” kata Ridwan. Buat dia, sumbangan kecil-kecil itu bila dilakukan banyak pihak hasil akhirnya akan berpengaruh nyata.

Dalam isu ruang sosial, kota sebagai ruang publik seharusnya didesain memberi rasa nyaman dan aman, seperti dalam ruang privat (rumah) sehingga warga mau keluar dari rumah. Untuk itu, ruang publik harus didesain, tidak cukup hanya disediakan.

”Misalnya, ruang hijau didesain ada ruang untuk main skateboard, sudut satunya untuk ngopi, dan yang lain untuk kontemplasi. Ruang publik di Indonesia baru disediakan, belum dirancang dengan baik. Lapangan Monas contohnya. Akibatnya orang yang mau menggunakan juga bingung,” jelas Ridwan.

Contoh lain adalah jalan sebagai ruang publik terbesar yang diperlakukan sekadar sebagai ruang sirkulasi engineering. Akibatnya, pemerintah hanya menyediakan aspal, tetapi tidak memikirkan pedestrian untuk pejalan kaki.

”Boro-boro didesain, disediakan saja tidak. Pertanyaannya, lalu di mana warga kota bisa melakukan interaksi sosial dengan kenyamanan dan keamanan seperti di ruang privat? Karena tidak ada pilihan, maka 60 persen warga Jakarta melarikan diri ke mal yang menyediakan keamanan dan kenyamanan dengan segala sensasinya,” kata Ridwan.

Apa yang Anda dan Urbane lakukan?

Ketika memenangi desain gedung Kampus Universitas Tarumanagara Jakarta, saya minta kesempatan untuk juga mendesain lingkungan kampus. Waktu itu, halaman kampus diaspal untuk parkir mobil. Setelah kuliah semua orang pulang.

Saya lalu buat gedung parkir terpisah. Yang tadinya tempat parkir jadi taman; ada taman pasif yang sifatnya diam, taman aktif untuk main bola atau latihan marching band, dan taman linier berupa koridor memanjang. Sekarang di taman itu ada yang pacaran, ada yang tiduran, ada yang kontemplasi, macam-macam aktivitas.

Di Epicentrum, Urbane menggarap 12 hektar dari total kawasan 50 hektar. Ada Bakrie Tower, Epicentrum Walk, perkantoran, ritel, dan waterfront.

Semua garis sempadan bangunan saya jadikan pedestrian sehingga lebarnya 9 meter sepanjang 0,5 kilometer. Di ruang seluas itu kan tidak bisa hanya dilakukan perkerasan, harus ada desain untuk membuat orang bisa duduk dan berkontemplasi, membangkitkan inspirasi, ada air mancur untuk menurunkan suhu udara.

Waterfront dirancang dengan membagi dua aliran sungai. Jalur pertama yang kotor dan yang bersih didekatkan ke ruang publik untuk memperlihatkan sungai bukan tempat buang sampah.

Di mana tempat arsitektur lokal di tengah globalisasi?

Hormati nilai luhur budaya dengan cara baru, bukan copy and paste secara fisik. Artinya, yang diriset nilai budaya lalu ditransformasikan menjadi bentuk geometri modern.

Ketimbang bikin joglo, saya mendesain dengan dinding motif batik untuk renovasi Hotel Sahid. Spirit Jawa tetap hadir, tetapi saya pakai referensi budaya Jawa lain yang saya interpretasi ulang.

Di Museum Tsunami, saya mengambil nilai tarian Aceh, Saman, yang distilisasi menjadi geometri motif baru lalu diterapkan secara konstruksi menjadi kulit bangunan museum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>